pemanfaatan

Transaksi yang Terutang PPN

Beberapa waktu lalu, Musyawarah Nasional Nahdlatul Ulama (Munas-NU) mewacanakan untuk melakukan gerakan nasional memboikot pembayaran pajak. Entah pajak apa yang dimaksud oleh para kyai tersebut, tapi kalau menurut saya kita hampir tidak mungkin bisa melepaskan diri dari pajak terutama Pajak Pertambahan Nilai. (more…)

Mengenal Jenis Faktur Pajak (Bagian III-Habis)

Ini merupakan tulisan yang terakhir mengenai Faktur Pajak. Kali ini saya akan coba menguraikan ketentuan PPN untuk Dokumen-Dokumen Tertentu Yang Kedudukanya Dipersamakan Sebagai Faktur Pajak (Standar).

Seperti yang sudah saya sampaikan di tulisan pertama, yang namanya Faktur Pajak sebenarnya hanya diperuntukkan bagi penyerahan lokal BKP/JKP. Ini dapat dilihat pada definisi umum mengenai Faktur Pajak yang ada dalam Pasal 1 angka 23 UU PPN.  Tetapi kemudian, dalam Pasal 13 ayat (1) UU yang sama dikatakan bahwa Faktur Pajak harus dibuat tidak hanya untuk penyerahan BKP/JKP melainkan juga untuk ekspor BKP/JKP. (more…)

Impor Jasa…? Kena PPN..!!!

PPN adalah pajak atas konsumsi BKP maupun JKP di dalam Daerah Pabean. Itu sebabnya tidak peduli apakah BKP atau JKP-nya berasal dari dalam negeri atau luar negeri, kita sebagai pengonsumsi barang dan jasa tadi bakal dikenakan PPN terutama kalau konsumsinya dilakukan di dalam Daerah Pabean.

ImageTulisan ini khusus membahas soal PPN atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, yang dikenakan atas dasar ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf e UU PPN.

Lokal dan Impor

Jika JKP yang kita konsumsi kita beli dari penjual yang berada dalam Daerah Pabean (dalam negeri), kita akan dikenakan PPN sesuai Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPN. Di sini, UU PPN mengatakan bahwa PPN dikenakan atas penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha.

Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, pengusaha yang melakukan penyerahan JKP-lah yang wajib memungut PPN dari kita. Jadi dalam hal ini, kita membayar pajak (PPN) tidak secara langsung ke Kas Negara melainkan ‘menitipkannya’ kepada pengusaha tersebut.  Dan sebagai bukti bahwa kita telah ‘menitipkan’ PPN tadi ke pengusaha itu, kita harus mendapat Faktur Pajak dari pengusaha yang bersangkutan.

Jika tidak ada Faktur Pajak, kita dianggap belum membayar PPN padahal PPN adalah kewajiban dan beban yang harus kita bayar karena kita mengonsumsi jasa tadi.  Dalam konsidi eh…kondisi ini, kita bisa ditagih oleh pemeriksa pajak untuk membayar kembali PPN itu apalagi kalau pengusahanya (yang melakukan penyerahan JKP dan sudah menerima uang PPN dari kita) tidak ‘terkejar’ dan tidak bisa ditagih.  Itulah sebabnya dalam UU PPN ada yang namanya Tanggung Jawab Renteng (Pasal 16F UU PPN). Jadi, untuk menghindari Tanggung Jawab Renteng itu kita harus bisa mendapatkan Faktur Pajak setiap kali kita membayar PPN ke pengusaha.

Tetapi ingat, kita hanya boleh ‘menitipkan’ (baca: membayar) PPN itu hanya kepada pengusaha yang sudah dikukuhkan menjadi PKP.  Jika ternyata pengusaha tadi belum dikukuhkan sebagai PKP, mereka sebenarnya dilarang membuat Faktur Pajak [Pasal 14 ayat (1) UU PPN Nomor 11 Tahun 1994]. Faktur Pajak yang mereka terbitkan termasuk kelompok Faktur Pajak tidak sah [SE Dirjen Pajak Nomor SE-132/PJ/2010].  Lalu bagaimana jadinya kalau benar terjadi yang seperti itu? Akankah kita kena Tanggung Jawab Renteng?

Kalau seandainya kita sudah terlanjur membayar PPN kepada pengusaha yang sebenarnya belum menjadi PKP, maka selama kita punya Faktur Pajak dan bukti pembayaran lainnya, kita bisa bebas dari Tanggung Jawab Renteng.  Sebab Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 mengatakan sepanjang kita telah punya bukti bahwa kita telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual, maka kita bisa terlepas dari Tanggung Jawab Renteng.  Namun demikian, tetap harus diingat bahwa Faktur Pajak dari mereka tetap tidak boleh dikreditkan karena Faktur Pajak tersebut dianggap tidak sah.

Bukti pembayaran PPN dalam hal ini adalah Faktur Pajak dan bukti pendukung lainnya seperti bukti transfer (bukti pembayaran lainnya), faktur penjualan (invoice) dari penjual, bahkan kalau kita punya bukti penerimaan barang dan delivery order itu akan lebih kuat lagi.

Pemanfaatan Jasa dari Luar Daerah Pabean

Jika jasa yang kita konsumsi tadi kita beli dari luar Daerah Pabean, maka kita akan dikenakan PPN sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf e UU PPN.  Dalam konteks ini, kita dikatakan telah melakukan pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

Dalam SE-08/PJ.5/1995 tanggal 17 Maret 1995 Dirjen Pajak menjelaskan bahwa JKP disebut sebagai “berasal dari luar Daerah Pabean” apabila penjual JKP yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah Pabean (di luar negeri) menyerahkan JKP tersebut ke dalam Daerah Pabean tidak melalui BUT atau tidak atas nama BUT yang berada di dalam Daerah Pabean. Jika penyerahan JKP dilakukan melalui BUT atau atas nama BUT, maka itu dianggap penyerahan lokal seperti dijelaskan sebelumnya di atas.

Tiga Alat Test

Kemudian untuk menge-test apakah kita melakukan pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, SE tersebut memberikan tiga contoh sebagai berikut:

  1. JKP yang berasal dari luar Daerah Pabean, yang melekat pada atau ditujukan untuk barang tidak bergerak yang berada di dalam Daerah Pabean. Misalnya kita hendak membangun gedung di Indonesia dan memakai design gedung atau maket karya arsitek yang berada di luar negeri.
  2. JKP yang berasal dari luar Daerah Pabean, yang melekat pada atau ditujukan untuk barang bergerak yang berada atau dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean. Misalnya kita menyewa alat-alat berat untuk pengeboran migas dari pihak yang berada di luar negeri. Atau kita mengirim kapal yang rusak ke luar negeri untuk diperbaiki di sana dan kemudian kapalnya kita gunakan di Indonesia.
  3. Jasa yang secara fisik dilakukan di Indonesia tetapi tidak melebihi time test pembentukan BUT.  Dalam hal ini, jika jasa tersebut kita manfaatkan di Indonesia, maka kita dianggap melakukan pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean.  Misalnya kita ingin membuat iklan dan memanggil pembuat iklan dari luar negeri. Jika pembuatan iklan tidak melebihi time test pembentukan BUT di Indonesia dan iklan tersebut tayang di Indonesia, maka kita dianggap melakukan pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean.

Wajib Setor Sendiri

Sesuai dengan ketentuan yang ada, jika kita melakukan pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, maka kita wajib menyetorkan PPN atas kegiatan pemanfaatan JKP tersebut. Ketentuan ini sebenarnya mirip dengan Tanggung Jawab Renteng karena kita sebagai pihak yang mengonsumsi JKP—dan sebagai pihak yang dikenakan PPN—wajib menyetorkan PPN ke negara. Bedanya, dalam konteks ini UU PPN memang tidak mewajibkan kita menyetor PPN-nya ke penjual JKP karena mereka ‘kan ada di luar negeri (luar Daerah Pabean) sehingga mereka tidak mungkin bisa menyetorkan PPN di sini. Itu sebabnya kita diwajibkan menyetor sendiri PPN tersebut ke Kas Negara melalui bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro yang bisa menerima pembayaran pajak.

Jika kita tidak menyetor PPN, kita bisa ditagih oleh kantor pajak setempat melalui SKP-KB PPN.  Jika misalnya kita menyetor PPN ke penjual jasa (yang ada di luar negeri) tadi, kita pun bisa tetap ditagih oleh KPP dengan SKP-KB dengan alasan bahwa KPP tidak bisa menagih kepada si penjual dan kita juga tidak punya Faktur Pajak dari si penjual tadi.  Sebab, kita bisa bebas dari Tanggung Jawab Renteng apabila KPP bisa menagih kepada si penjual atau kita punya Faktur Pajak dari si penjual [lihat Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012).

Saat Penyetoran dan Pelaporan

PPN atas pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean (untuk selanjutnya disebut dengan singkatan umum PPN JLN) harus disetorkan paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah bulan terutangnya PPN JLN. Sedangkan pelaporannya harus dilakukan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah bulan terutangnya PPN JLN tersebut.

Jika misalnya dikatakan PPN JLN terutang bulan April 2012, maka berarti PPN JLN harus kita setorkan paling lambat tanggal 15 Mei 2012 dan pelaporannya harus disampaikan paling lambat 31 Mei 2012.

Apabila tanggal 15 Mei 2012 dan tanggal 31 Mei 2012 tersebut jatuh tepat pada hari libur, termasuk hari Sabtu atau libur nasional, penyetoran PPN JLN dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Dalam hal ini, hari yang diliburkan oleh Pemerintah untuk penyelenggaraan Pemilu dan cuti bersama yang ditetapkan oleh Pemerintah, termasuk dalam pengertian hari libur nasional.

Saat Terutangnya PPN JLN

Jadi yang perlu kita fahami sekarang adalah kapan saat (bulan) terutangnya PPN JLN. Supaya kita tidak terlambat setor dan juga lapor. Sebab keterlambatan setor bisa mengakibatkan kita kena sanksi administrasi bunga 2% per bulan dari jumlah yang terlambat kita setorkan. Terlambat setor satu hari saja, sudah dihitung terlambat satu bulan.

Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 40/PMK.03/2010 menjelaskan bahwa saat terutangnya PPN JLN adalah pada peristiwa yang terjadi lebih dahulu di antara peristiwa-peristiwa berikut:

  • Saat JKP tersebut digunakan secara nyata oleh pihak yang memanfaatkan;
  • Saat biaya atas JKP itu dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkan;
  • Saat penggantian JKP tersebut ditagih oleh pihak yang menyerahkannya; atau
  • Saat harga JKP itu dibayar (sebagian atau seluruhnya) oleh pihak yang memanfaatkannya.

Apabila keempat saat atau peristiwa tersebut tidak diketahui, maka saat terutangnya PPN JLN adalah pada tanggal ditandatanganinya kontrak/perjanjian atau saat lain yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak.

Masalah yang Sering Timbul

Dalam praktek pemeriksaan pajak, masalah yang sering timbul adalah jika ada invoice atau tagihan JKP dari luar yang berbeda dengan tanggal kita menerima invoice dan tanggal pencatatannya.  Misalnya begini: kita menggunakan jasa konsultan manajemen dari Amerika dengan biaya jasa Rp 50.000.000,-. Konsultan dari Amerika tadi mengirimkan invoice bertanggal 31 Mei 2012 dan karena kendala pengiriman akhirnya invoice tadi baru sampai ke tangan kita pada tanggal 16 Juni 2012 dan baru kita catat sebagai Utang pada tanggal tersebut. Nah, dalam kondisi ini kapan sebenarnya PPN JLN terutang?

Kalau merefer ke Pasal 5 PMK Nomor 40/PMK.03/2010 tadi, maka PPN JLN terutang pada tanggal 31 Mei 2012 (saat JKP ditagih oleh konsultan Amerika) dan seharusnya PPN JLN sudah harus kita setor paling lambat pada 15 Juni 2012. Lho, ‘kan invoice-nya baru sampai ke tangan kita tanggal 16 Juni 2012…? Berarti kita dianggap terlambat dong dan bisa kena sanksi bunga 2% x (10% x Rp 50.000.000,-)? Iya, dalam praktek pemeriksaan pajak, tidak sedikit fiskus yang menganggap bahwa dalam case ini PPN JLN harusnya disetor pada tanggal 15 Juni 2012 karena yang dianggap sebagai ‘saat ditagih’ adalah tanggal invoice.

Kalau memang benar anggapan bahwa dalam case tersebut PPN JLN terutang pada tanggal invoice, maka menurut saya Pasal 5 PMK itu seolah menjadi jebakan buat kita.  Sebab, mau tidak mau kita harus siap dikenakan sanksi bunga keterlambatan setor PPN JLN jika kita memang menyetor PPN JLN-nya setelah tanggal terima invoice.

Semestinya, kalau mau bijak, dalam case tadi harus dilihat dulu kondisinya apakah kita memang benar-benar telat menerimanya atau kita sengaja berpura-pura telat menerima untuk menunda penyetoran PPN JLN? Apabila kita benar-benar telat menerimanya dan ini bisa dibuktikan dengan tanda terima pengiriman dokumen dari perusahaan ekspedisi, berarti itu kondisi force majeur, semestinya saat terutangnya PPN JLN tadi adalah pada tanggal 16 Juni 2012. Jadi kita bisa menyetorkan PPN JLN paling lambat pada tanggal 15 Juli 2012. Kebijakan ini saya rasa perlu agar pemeriksa pajak tidak menghukum pihak yang tidak bersalah.

Cara Penyetoran PPN JLN

Penyetoran PPN JLN dilakuan dengan menggunakan SSP sebagaimana layaknya kita menyetor pajak lainnya, tetapi diisi dengan cara sebagai berikut:

  • kolom Nama WP dan Alamat WP, diisi dengan nama dan alamat dari pihak di luar negeri yang menyerahkan JKP;
  • kolom Kode Aku Pajak diisi angka 411211 sedangkan kolom Kode Jenis Setoran diisi angka 102;
  • kolom Uraian Pembayaran diisi dengan kalimat “Pembayatan PPN JKP dari Luar Daerah Pabean” atau kalimat lain yang serupa yang menjelaskan maksud dan tujuan setoran pajak;
  • kolom Masa Pajak diisi dengan memberikan tanda silang (X) pada salah satu kolom bulan yang ada. Dalam ilustrasi case masalah di atas misalnya, tanda silang diberikan di kolom Jun karena PPN JLN terutang di bulan Juni 2012 (bukan pada bulan penyetoran ke bank);
  • kolom Tahun Pajak diisi dengan tahun terutangnya PPN JLN. Dalam case di atas misalnya diisi dengan angka 2012;
  • kolom Wajib Pajak/Penyetor diisi dengan tanggal penyetoran ke bank atau Kantor Pos dan Giro serta mencantumkan nama serta NPWP kita pihak yang menyetorkan PPN JLN.

Jika kita sudah PKP, PPN JLN tadi pada dasarnya Pajak Masukan buat kita dan boleh dikreditkan dengan syarat pengisian SSP-nya dilakukan seperti cara di atas dan pemanfaatan JKP tersebut berhubungan langsung dengan kegiatan usaha kita.

Cara Pelaporan PPN JLN

Jika kita sudah PKP, pelaporan PPN dilakukan melalui SPT Masa PPN pada masa pajak (bulan) terutangnya PPN JLN. Dalam case tadi misalnya, PPN terutang di bulan Juni 2012 sehingga harus dilaporkan di SPT Masa PPN Masa Pajak Juni 2012. Jika bisa dikreditkan, SSP JLN kita masukkan ke Formulir 1111-B1 dan apabila tidak bisa dikreditkan dilaporkan di Formulir 1111-B3.

Namun apabila kita belum menjadi PKP, pelaporan PPN JLN dilakukan dengan cara menyampaikan lembar ke-3 SSP PPN JLN tadi ke KPP tempat kita terdaftar. SSP lembar ke-3 tersebut harus kita sampaikan paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terutangnya PPN JLN. Jadi untuk case di atas, misalnya, karena PPN JLN terutang di Juni 2012 berarti SSP lembar ke-3 harus kita laporkan ke KPP paling lambat pada tanggal 31 Juli 2012.

-(ooo0ooo)-

Pamulang, 25 Mei 2012