Month: December 2011

Kenali Diri, Pilih SPT Tahunan PPh Yang Tepat

Tidak terasa, sekarang sudah menjelang akhir tahun 2011.  Sebelum lupa, saya ingin mengucapkan Selamat Natal 2011 dan Tahun Baru 2012 buat pembaca dan pengunjung blog saya ini.

Buat sebagian orang, akhir tahun ini biasanya digunakan untuk berlibur.  Banyak kawan-kawan saya yang sengaja hanya mengambil cuti di akhir tahun agar supaya bisa liburan bersama keluarga karena biasanya berbarengan dengan libur sekolah putra-putrinya. Namun bagi sebagian orang, akhir tahun ini biasanya digunakan untuk menyiapkan segala sesuatunya untuk pelaporan SPT Tahunan PPh, baik SPT milik perusahaan tempat mereka bekerja atau malah SPT miliknya sendiri karena yang bersangkutan sudah ber-NPWP.

Meski batas akhir pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi masih relatif lama, yaitu sampai akhir bulan Maret 2012 nanti, namun tidak ada salahnya jika mulai sekarang kita mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk pengisian SPT Tahunannya nanti.  Dan salah satu yang perlu disiapkan adalah formulir SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yang akan kita gunakan.

Pada waktu memilih jenis formulir SPT Tahunan inilah biasanya Wajib Pajak orang pribadi bingung menentukannya.  Sebab sekarang ‘kan ada tiga jenis formulir SPT Tahunan PPh untuk orang pribadi, yaitu:

  1. Formulir 1770;
  2. Formulir 1770-S; dan
  3. Formulir 1770-SS.

Ketiga jenis formulir SPT Tahunan PPh itu diperuntukkan untuk Wajib Pajak orang pribadi yang berbeda.  Dan Wajib Pajak harus benar-benar tahu mana formulir yang harus mereka gunakan.

Saya punya alat bantu untuk menentukan jenis formulir SPT Tahunan PPh tersebut.  Bentuknya file chm (WinHelp).  Wajib Pajak cukup menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada dan nanti akan ketahuan formulir SPT Tahunan PPh yang mana yang harus digunakan.  Jika Anda butuh dengan ‘alat bantu’ ciptaan saya tersebut silakan klik di sini.  Nanti, setelah di-download, ubah ekstensi .xlsx-nya dengan .chm (Jadi nama filenya: Alat Test 1770.chm). Mudah-mudahan ‘alat bantu’ ini bisa berguna buat Anda dan kawan-kawan… :)

–(O)–

Pamulang, 25 Desember 2011

Selamat Natal 2011 & Tahun Baru 2012

Pemotongan PPh Pasal 21 Terhadap Bukan Pegawai

Dalam konteks PPh Pasal 21 ada subjek penerima penghasilan yang disebut dengan ‘Bukan Pegawai’.  Jenis pekerjaan, keahlian maupun profesinya memang beragam.  Tapi penghitungan PPh Pasal 21-nya hanya menggunakan salah satu dari rumus.

Pengertian Bukan Pegawai

Seperti didefinisikan pada Pasal 1 angka 12 Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ./2009, Bukan Pegawai adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari pemberi kerja (pemotong PPh Pasal 21 atau pemberi penghasilan) sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa atau kegiatan tertentu yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.

Kemudian dalam Pasal 3 huruf c Peraturan Dirjen Pajak tadi, disebutkan beberapa jenis profesi yang tergolong sebagai Bukan Pegawai, yang antara lain meliputi:

  1. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yakni Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan, Notaris, Penilai dan Aktuaris.  Selain kedelapan profesi ini, meskipun sangat ahli dalam bidangnya, dalam konteks PPh Pasal 21 tidak dikelompokkan sebagai tenaga ahli.  Misalnya ahli komputer atau programmer komputer;
  2. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
  3. Olahragawan;
  4. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
  5. Pengarang, peneliti, dan penerjemah;
  6. Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronikan, fotografi, ekonomi dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
  7. Agen iklan;
  8. Pengawas atau pengelola proyek;
  9. Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
  10. Petugas penjaja barang dagangan;
  11. Petugas dinas luar asuransi;
  12. Distributor perusahaan multilevel marketing (MLM) atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya.

PPh Pasal 21 Bukan Pegawai

Meski jenis pekerjaan dan profesinya beragam, namun jika kita lihat Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Formulir F.1.1.33.01), pemotongan PPh Pasal 21 terhadap mereka yang Bukan Pegawai tersebut dikelompokkan dalam 6 (enam) kategori, yakni:

  1. Imbalan Distributor MLM (Formulir F.1.1.33.01 nomor urut 2);
  2. Imbalan Petugas Dinas Luar Asuransi (Formulir F.1.1.33.01 nomor urut 3);
  3. Imbalan kepada Penjaja Barang Dagangan (Formulir F.1.1.33.01 nomor urut 4);
  4. Imbalan kepada Tenaga Ahli (Formulir F.1.1.33.01 nomor urut 5);
  5. Imbalan kepada Bukan Pegawai yang Bersifat Berkesinambungan (Formulir F.1.1.33.01 nomor urut 10); dan
  6. Imbalan kepada Bukan Pegawai yang Tidak Bersifat Berkesinambungan (Formulir F.1.1.33.01 nomor urut 11).

Simpel ‘kan? Di samping itu, meski beragam dan dikelompokan dalam enam kategori, namun rumus atau formula untuk menghitung PPh Pasal 21-nya pun mudah dan hanya ada dua rumus/formula, yakni:

Rumus 1

Rumus 1

Rumus 2

Rumus

Rumus atau Formula 1

Secara umum, rumus atau formula 1 (Rumus 1) digunakan untuk menghitung PPh Pasal 21 atas imbalan kepada Bukan Pegawai yang bersifat berkesinambungan.  Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kata ‘berkesinambungan’ adalah bahwa fee atau imbalan yang kita berikan kepada Bukan Pegawai tadi lebih dari sekali selama satu tahun takwim (Januari s.d. Desember).

Misalnya, kita memberikan fee atau imbalan ke seseorang yang Bukan Pegawai pada bulan Maret 2011 dan November 2011.  Karena kedua pembayaran tersebut dilakukan dalam tahun yang sama (2011), maka pembayaran itu disebut dengan pembayaran yang berkesinambungan. Tapi jika misalnya kita membayar imbalannya pada bulan November 2011 dan Januari 2012, maka ini tidak masuk istilah berkesinambungan.  Sebab kedua pembayaran imbalan dilakukan dalam tahun yang berbeda.

Semua yang Bukan Pegawai (kategori 1 s.d. 6), jika menerima imbalan secara berkesinambungan, penghitungan PPh Pasal 21-nya menggunakan Rumus 1. Kemudian saat membuat Bukti Potong PPh Pasal 21-nya, barulah kita masukkan sesuai kategorinya.  Misalnya jika MLM di masukkan di nomor urut 2, jika Tenaga Ahli dimasukkan di nomor urut 5, dst.

Contoh Penghitungan

Misalkan pada tahun 2011 kita membayarkan imbalan kepada seorang Programer Komputer atas jasanya membuatkan aplikasi sistem absensi pegawai.  Fee dibayarkan dua kali, yaitu pada bulan Oktober 2011 sebesar Rp 10.000.000,- yang merupakan uang muka pelaksanaan kerja dan sisanya Rp 15.000.000,- dibayarkan pada bulan Desember 2011 pada saat aplikasi selesai di-install.

Pada bulan Oktober 2011, PPh Pasal 21 dihitung dengan langkah sebagai berikut:

  1. Langkah 1: hitung jumlah bruto, yaitu sebesar 50% x Rp 10.000.000,- = Rp 5.000.000,-;
  2. Langkah 2: tentukan PTKP sebulan.  Asumsikan si programmer berstatus TK/0 yang berarti PTKP setahun Rp 15.840.000,-.  PTKP sebulan adalah PTKP setahun dibagi dengan 12 (dua belas) bulan, yaitu Rp 1.320.000,-;
  3. Langkah 3: hitung Penghasilan Kena Pajak (PKP), yaitu hasil pada Langkah 1 dikurangi dengan PTKP sebulan pada Langkah 2 = Rp 5.000.000,- (-) Rp 1.320.000,- = Rp 3.680.000,-;
  4. Langkah 4: akumulasikan PKP bulan ini dengan akumulasi PKP bulan sebelumnya.  Jumlah akumulasi ini digunakan sebagai indikator tarif PPh Pasal 17 yang harus digunakan dalam penghitungan PPh Pasal 21 atas imbalan yang dibayarkan bulan ini.  Jika misalnya akumulasi PKP sudah melebihi Rp 50.000.000,- maka tarif yang digunakan untuk menghitung PPh Pasal 21 atas imbalan bulan ini adalah 15%.  Dalam contoh kita ini, pembayaran di bulan Oktober 2011 adalah pembayaran pertama, hingga akumulasi PKP sampai dengan bulan ini masih rp 3.680.000,-;
  5. Langkah 5: hitung PPh Pasal 21 atas imbalan yang dibayar di bulan Oktober, yaitu Rp 3.680.000,- x 5% = Rp 184.000,-

Terhadap pemotongan PPh Pasal 21 di bulan Oktober 2011 ini, kita buatkan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Formulir F.1.1.33.01).  Kolom yang diisi adalah nomor urut 10 yaitu kategori Bukan Pegawai yang Menerima Penghasilan Bersifat Berkesinambungan (tidak dimasukkan sebagai Tenaga Ahli karena programer komputer tidak tergolong Tenaga Ahli dalam konteks PPh Pasal 21).

Atas pembayaran sisa sebesar Rp 15.000.000,- pada bulan Desember 2011, PPh Pasal 21 juga dihitung dengan langkah-langkah seperti yang dijelaskan di atas yaitu:

  • Langkah 1: hitung jumlah bruto, yaitu sebesar 50% x Rp 15.000.000,- = Rp 7.500.000,-
  • Langkah 2: tentukan PTKP sebulan.  Asumsikan si programmer berstatus TK/0 yang berarti PTKP setahun Rp 15.840.000,-.  PTKP sebulan adalah PTKP setahun dibagi dengan 12 (dua belas) bulan, yaitu Rp 1.320.000,-
  • Langkah 3: hitung Penghasilan Kena Pajak (PKP), yaitu hasil pada Langkah 1 dikurangi dengan PTKP sebulan pada Langkah 2 = Rp 7.500.000,- (-) Rp 1.320.000,- = Rp 6.180.000,-;
  • Langkah 4: akumulasikan PKP bulan ini dengan akumulasi PKP bulan sebelumnya.  Jumlah akumulasi ini digunakan sebagai indikator tarif PPh Pasal 17 yang harus digunakan dalam penghitungan PPh Pasal 21 atas imbalan yang dibayarkan bulan ini.  Jika misalnya akumulasi PKP sudah melebihi Rp 50.000.000,- maka tarif yang digunakan untuk menghitung PPh Pasal 21 atas imbalan bulan ini adalah 15%.  Dalam contoh kita ini, pada bulan Oktober 2011 PKP-nya adalah Rp 3.680.000,- dan kita tambah dengan PKP bulan Desember 2011 Rp 6.180.000,- hingga total PKP kumulatif Rp 9.860.000,-. Karena akumulasi PKP masih di baawah Rp 50.000.000,0 maka atas pembayaran fee bulan Desember 2011 masih menggunakan tarif 5%;
  • Langkah 5: hitung PPh Pasal 21 atas imbalan yang dibayar di bulan Desember, yaitu Rp 6.180.000,- x 5% = Rp 309.000,-

Syarat PTKP dalam Rumus 1

Hal yang perlu diingat saat menggunakan Rumus 1 adalah bahwa pengurangan PTKP hanya berlaku bagi Bukan Pegawai yang memenuhi seluruh syarat berikut:

  1. Sudah ber-NPWP;
  2. Penghasilan berasal dari hubungan kerja dengan Pemberi Penghasilan; dan
  3. Tidak memperoleh penghasilan lainnya.

Jika salah satu dari ketiga syarat tersebut tidak terpenuhi, maka unsur PTKP dalam Rumus 1 tersebut diisi dengan 0 (nol).  Bagi Bukan Pegawai yang belum ber-NPWP, selain tidak berhak mendapat pengurangan PTKP, juga dikenai tarif PPh Pasal 21 lebih tinggi 20% dari tarif normal yang disebutkan dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh.  Ketiga syarat tersebut tercantum dalam Pasal 13 ayat (1) PER-31/PJ./2009.

Dalam praktik, banyak para pemotong PPh Pasal 21 yang ‘mencari aman’ dengan cara tidak menerapkan PTKP dalam Rumus 1 tadi.  Sebab dengan tidak menerapkan PTKP dalam rumus tersebut, berarti PPh Pasal 21 akan menjadi lebih besar.  Dan ini tentunya Syarat yang ke-2 agar Bukan Pegawai bisa memperoleh pengurangan PTKP adalah bahwa penghasilan yang diberikan berasal dari hubungan kerja dengan pemberi penghasilan. Baik dalam PER-31/PJ./2009 maupun dalam PER-57/PJ./2009, tidak ada penjelasan maupun contoh terkait dengan syarat ini.  Itu sebabnya, banyak pemotong PPh Pasal 21 yang tidak mau ambil pusing dan langsung memilih untuk tidak menerapkan PTKP dalam Rumus 1 tadi.

Syarat yang ke-3 terkait dengan sumber penghasilan yang diterima oleh Bukan Pegawai pada tahun yang bersangkutan.  Misalnya saya. Jika dalam tahun 2011 ini menerima fee dari PT A dan juga dari PT B, maka pada waktu PT A menghitung PPh Pasal 21 atas fee saya tidak boleh menerapkan PTKP.  Begitu juga dengan PT B.  Tapi bagaimana mungkin PT A bisa memastikan bahwa saya tidak menerima fee selain dari mereka?  Oleh sebab itu, para pemotong PPh Pasal 21, seperti PT A tadi, biasanya akan langsung memilih untuk tidak menerapkan PTKP dalam Rumus 1.  Jika misalnya si penerima penghasilan keberatan dan minta agar PTKP-nya dihitung, biasanya pemotong PPh Pasal 21 akan meminta untuk dibuatkan Surat Pernyataan yang menyatakan bahwa si penerima penghasilan hanya menerima penghasilan dari satu sumber saja.

Rumus atau Formula 2

Secara umum, rumus atau formula 2 digunakan untuk menghitung PPh Pasal 21 atas imbalan kepada Bukan Pegawai yang Tidak Bersifat Berkesinambungan.  Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kata ‘tidak bersifat berkesinambungan’ adalah bahwa imbalan yang kita berikan kepada Bukan Pegawai tadi hanya sekali selama satu tahun takwim (Januari s.d. Desember).

Rumus 2 ini lebih sederhana karena tidak memperhitungkan PTKP dan tidak ada syarat-syarat lainnya.  PPh Pasal 21 dihitung secara simpel yaitu = (50% x imbalan bruto) x tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh. Misalnya pada setiap akhir tahun kita menggunakan jasa programer komputer untuk melakukan maintenance atas aplikasi komputer dan membayarkan fee sebesar Rp 15.000.000,-. Maka atas fee tersebut dipotong PPh Pasal 21 sebesar:

  • = (50% x Rp 15.000.000,-) x 5%
  • = Rp 7.500.000,- x 5% (karena masih di bawah Rp 50 juta).
  • = Rp 375.000,-

Terhadap pemotongan PPh Pasal 21 ini kita buatkan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Formulir F.1.1.33.01) dan kolom yang diisi adalah kolom 11 yaitu kategori Bukan Pegawai yang Menerima Penghasilan yang Tidak Bersifat Berkesinambungan.  Meski programmer komputer itu sangat ahli dalam bidangnya, tapi sekali lagi, dalam konteks pemotongan PPh Pasal 21 selain Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan, Notaris, Penilai dan Aktuaris, tidak digolongkan sebagai Tenaga Ahli.

–(O)–

Pamulang, 25 Desember 2011

Tarif Kualifikasi atau Non-Kualifikasi..?

Beberapa waktu lalu, saya ditanya soal tarif PPh Final Jasa Konstruksi. Kasusnya begini, pada saat kontrak konstruksi ditandatangani, sertifikat kualifikasi jasa konstruksi milik pengusaha jasa konstruksi sebenarnya sudah akan habis masa berlakunya. Kemudian pada saat pembayaran termin proyek, pengusaha jasa konstruksi lupa dan belum memperpanjang masa berlaku sertifikat kualifikasi tadi. Nah, si pemilik proyeknya bingung, akan memotong PPh Final jasa konstruksi dengan tarif yang mana, tarif normal atau tarif yang non-kualifikasi?

Pada waktu ditanya, saya balik bertanya kepada penanya: “Posisi Anda ada di mana, sebagai owner (pemilik proyek) atau sebagai pengusaha jasa konstruksinya?” Karena si penanya bilang dia ada di posisi sebagai pemilik proyek, saya dengan enteng menjawab: “Safe mode ajja. Potong yang paling besar.” Tapi kebetulan si penanya tidak puas dengan jawaban tadi. Dia ingin jawaban yang ada dasar hukumnya.

Saat Terutang PPh Final Jasa Konstruksi

Jika kita melihat pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a di Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008, dikatakan bahwa PPh Final Jasa Konstruksi terutang dan wajib dipotong pada saat pembayaran. Dari ketentuan ini, saya berpendapat kalau besarnya PPh Final Jasa Konstruksi bukan ditentukan pada kondisi saat kontrak konstruksi ditandatangani melainkan ditentukan pada kondisi saat PPh Final Jasa Konstruksi tersebut terutang (saat pembayaran dilakukan). Artinya, jika dikaitkan dengan case yang ditanyakan tadi, semestinya tarif yang digunakan adalah tarif PPh Final Jasa Konstruksi yang non-kualifikasi, yaitu:

  • 4% dari jumlah pembayaran, untuk Jasa Pelaksanaan Konstruksi; atau
  • 6% dari jumlah pembayaran, untuk Jasa Perencanaan maupun Jasa Pengawasan Konstruksi.

Bagaimana menurut Anda? Adakah pendapat lain..???

Redenominasi Rupiah (Rp) dan Efeknya Terhadap Pajak

Belakangan ramai diberitakan tentang rencana dan usulan Bank Indonesia untuk melakukan redenominasi terhadap mata uang kita (mata uang Rupiah/Rp) dan pro-kontra para pakar ekonomi dan keuangan mengenai rencana tersebut.

Saya tidak ingin ikut-ikutan berpolemik mengenai rencana redenominasi mata uang kesayangan kita tersebut karena saya tidak ahli dalam masalah ekonomi dan keuangan.  Melalui tulisan ini saya hanya ingin menyampaikan pendapat saya mengenai efek dari redenominasi tersebut terhadap pajak. (more…)

Pengkreditan Pajak Masukan bagi Perusahaan Terpadu (Integrated)

Belum lama ini, Dirjen Pajak mengeluarkan Surat Edaran (SE) mengenai pengkreditan Pajak Masukan (PM) pada perusahaan terpadu (integrated) kelapa sawit.  Jika menilik pada substansi isinya, semestinya SE ini juga berlaku bagi semua perusahaan terpadu (integrated), tidak hanya kelapa sawit.

SE yang dimaksud adalah SE-90/PJ./2011 yang diterbitkan pada tanggal 23 November 2011.  Pada intinya, SE itu memberikan penegasan bahwa untuk perusahaan kelapa sawit yang terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang PPN dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang PPN, maka:

 

  1. Pajak Masukan (PM) atas perolehan Barang Kena Pajak (BKP) maupun Jasa Kena Pajak (JKP) yang nyata-nyata untuk kegiatan menghasilkan BKP (CPO/PKO), dapat dikreditkan;
  2. PM atas perolehan BKP maupun JKP yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan barang hasil pertanian yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, seperti misalnya menghasilkan Tanda Buah Segar (TBS), tidak dapat dikreditkan;
  3. PM atas perolehan BKP maupun JKP yang digunakan untuk kegiatan menghasilkan BKP sekaligus untuk kegiatan menghasilkan BKP strategis (c.q. TBS), dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran BKP terhadap peredaran seluruhnya

 

 

Terkait Produk atau Penyerahan?

Satu hal yang mengusik perhatian penulis adalah dalam SE-90/PJ./2011 itu sepertinya Dirjen Pajak menetapkan bahwa pengkreditan PM dikaitkan dengan produk (kegiatan menghasilkan).  Jika produk yang dihasilkan adalah BKP (yang terutang PPN), maka PM yang terkait dengan BKP tersebut dapat dikreditkan.  Sementara jika produk yang dihasilkan adalah Non-BKP (tidak terutang PPN) atau BKP yang mendapat fasilitas PPN Dibebaskan, maka PM yang terkait dengan produk tersebut tidak dapat dikreditkan.  Lalu apa salahnya?

Jika kita perhatikan ketentuan yang ada dalam Pasal 9 ayat (5) dan ayat (6) serta ketentuan Pasal 16B ayat (3) UU PPN, penulis berkesimpulan bahwa pengkreditan PM tidak dikaitkan dengan produk yang dihasilkan melainkan dikaitkan dengan penyerahannya.

“Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.” [Pasal 9 ayat (5) UU PPN]

“Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.” [Pasal 9 ayat (6) UU PPN].

 

Pasal 16B ayat (3) UU PPN dan penjelasannya:

“Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.”

“Berbeda dengan ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan.”

 

Berbeda dengan Ketentuan UU PPN

Dengan membandingkan penegasan SE-90/PJ./2011 dengan penegasan atau penjelasan yang ada pada Pasal 9 ayat (5) dan ayat (6) serta Pasal 16B ayat (3) UU PPN, penulis berpendapat penegasan yang ada dalam SE-90/PJ./2011 tersebut berbeda atau bertentangan dengan UU PPN.  Penulis khawatir, penegasan yang ada dalam SE-90/PJ./2011 itu akan merugikan Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak.

Skema Pengkreditan PM

Sebelum SE-90/PJ./2011 tersebut diterbitkan, penulis sudah sering mendengar keluhan dari rekan-rekan penggusaha yang berkecimpung dalam usaha perkebunan kelapa sawit di daerah Sumatera dan Kalimantan.  Pada saat pemeriksaan pajak dilakukan, PM yang terkait dengan TBS, seperti PM pembelian pupuk, PM pembelian peralatan perkebunan, dan lain sebagainya, dikoreksi positif oleh pemeriksa pajak.  Padahal TBS yang dihasilkan tidak dijual langsung melainkan diolah terlebih dahulu menjadi minyak kelapa sawit (CPO) atau minyak inti sawit (PKO). Dan banyak di antara rekan pengusaha tadi yang memiliki pabrik pengolahan CPO/PKO sendiri.

Jika pengolahan TBS menjadi CPO/PKO dilakukan oleh pihak lain (di-maklon-kan), OKE lah.  Penulis setuju, dalam hal ini PM atas pembelian pupuk dan peralatan perkebunan lainnya dapat dikoreksi.  Sebab dalam hal ini berarti ada penyerahan TBS dari pengusaha perkebunan kepada pihak subkon pengolah TBS menjadi CPO/PKO.  Sebab seperti diketahui, TBS merupakan salah satu hasil perkebunan yang ditetapkan sebagai BKP strategis yang mendapat fasilitas pembebasan PPN menurut versi SE-90/PJ./2011.  Kalau penulis berpendapat, TBS merupakan buah-buahan segar yang dimaksud dalam memori penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b.j. UU PPN, yang ditetapkan sebagai Non-BKP.  Namun apapun golongannya, TBS sebagai BKP strategis atau Non-BKP, tetap saja PM yang terkait dengan kegiatan produksi dan distribusinya tidak dapat dikreditkan.

Tetapi lain halnya jika pengolahan TBS menjadi CPO/PKO dilakukan sendiri oleh pengusaha yang bersangkutan.  Dalam hal ini semestinya PM atas pembelian pupuk dan peralatan perkebunan tetap dapat dikreditkan karena barang yang diserahkan (dijual) nantinya adalah CPO/PKO yang merupakan BKP tanpa fasilitas PPN apapun.

 

Berlaku untuk Semua Bidang Usaha Integrated

Kejadian yang sama seperti yang dialami pengusaha perkebunan kelapa sawit tersebut dalam praktiknya juga dialami oleh beberapa pengusaha dalam bidang lain.  Misalnya pengusaha di bidang peternakan, perikanan, dan pertambangan yang notabene juga merupakan perusahaan terpadu (integrated) di mana produk yang dihasilkan ada yang bukan BKP atau BKP yang mendapat fasilitas pembebasan PPN.

Seperti misalnya pengusaha peternakan ayam, mereka bisa menjual bibit (anakan) ayam, bisa menjual ayam dewasa hidup, atau ayam potong, yang masing-masing mendapat perlakuan PPN yang berbeda sebagai berikut:

  • Bibit (anakan) ayam, atas penyerahan (penjualannya) memperoleh fasilitas pembebasan PPN sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 stdtd Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007;
  • Ayam dewasa hidup, atas penyerahannya terutang PPN dan tidak mendapat fasilitas pembebasan PPN;
  • Ayam potong, atas penyerahannya tidak terutang PPN karena daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus, merupakan salah satu barang yang tidak dikenakan PPN (alias Non-BKP).

Dalam hal ini, menurut penulis pengkreditan PM bagi pengusaha peternakan tersebut seharusnya juga tidak dilihat dari produk yang dihasilkan melainkan harus dikaitkan dengan penyerahan atas produk-produk tersebut.  Ini agar perlakuan pengkreditan PM sesuai dengan ketentuan yang seharusnya yang diatur dalam Pasal 9 ayat (5) dan ayat (6) serta Pasal 16B ayat (3) UU PPN.

 

Pamulang, 4 Desember 2011.